Powered By Blogger

Senin, 28 September 2009

Kamis, 05 Maret 2009 - 09:48:34, Penulis : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran
Kategori : Cerminan Shalihah
Fathimah bintu Qais Al-Fihriyyah radhiyallahu 'anha


Dia satu di antara wanita yang berhijrah, menyelamatkan keimanannya. Fathimah bintu Qais Al-Qurasyiyah Al-Fihriyah radhiyallahu ‘anha. Seorang wanita Quraisy yang cerdas dan mulia. Peristiwa perpisahannya dengan Abu ‘Amr bin Hafsh, suaminya, membawa faedah besar bagi orang-orang setelahnya. Begitu pula tuturan kisah menakjubkan yang dia simak dari lisan Rasul-Nya yang mulia.

Fathimah bintu Qais bin Khalid Al-Akbar bin Wahb bin Tsa’labah bin Wa’ilah bin ‘Amr bin Syaiban bin Muharib bin Fihr Al-Qurasyiyah Al-Fihriyyah radhiyallahu ‘anha. Ibunya adalah Umaimah bintu Rabi’ah bin Hidzim bin ‘Amir bin Mabdzul bin Al-Ahmar bin Al-Harits bin ‘Abdi Manat bin Kinanah.
Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha disunting oleh Abu ‘Amr bin Hafsh bin Al-Mughirah Al-Makhzumi. Dalam sebuah peperangan di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu ‘Amr turut berangkat bersama ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ke Yaman. Dari sanalah Abu ‘Amr mengutus ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah untuk menyampaikan kepada Fathimah bahwa Abu ‘Amr menceraikannya dengan talak ba’in (talak tiga).
‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah pun menemui Fathimah dengan membawa lima sha’ kurma dan lima sha’ gandum, menyampaikan pesan Abu ‘Amr bin Hafsh. “Tidak adakah nafkah untukku selain ini? Tidak bisakah aku menjalani ‘iddahku di tempat tinggal kalian?” tanya Fathimah. “Tidak,” jawab ‘Ayyasy, “Engkau tidak berhak mendapatkan nafkah.”
Fathimah merasa tidak puas dengan jawaban itu. Segera dia kenakan pakaian luarnya, lalu menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendapatkan jawaban beliau atas permasalahannya ini. Kepada beliau dia kemukakan apa yang terjadi.
“Untuk keberapa kalinya dia mentalakmu?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Tiga,” jawab Fathimah. “Kalau begitu, dia benar. Engkau tidak berhak mendapatkan nafkah.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Fathimah bintu Qais menjalani ‘iddahnya di rumah Ummu Syarik radhiyallahu ‘anha. Ummu Syarik adalah wanita yang kaya. Banyak tamu yang singgah ke rumahnya. Beberapa waktu lamanya Fathimah tinggal di sana. Namun kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya pindah, karena banyak sahabat dari kalangan Muhajirin yang biasa datang ke rumah Ummu Syarik. “Aku tidak ingin, jika terbuka kerudungmu atau tersingkap pakaianmu, lalu ada orang yang melihat sesuatu yang tak kau sukai,” kata beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Pindahlah ke rumah Ibnu Ummi Maktum. Dia seorang lelaki buta. Kalau engkau menanggalkan kerudungmu di sana, dia takkan melihatmu. Jalanilah ‘iddahmu di sana.”
Beliau berpesan pula agar Fathimah memberitahukan kepada beliau bila telah selesai masa ‘iddahnya.
Berjalanlah waktu. Selesailah masa ‘iddah Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha. Dia pun mengabarkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fathimah memberitahukan pula, ada dua orang yang datang meminangnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan bin Harb radhiyallahu ‘anhu dan Abu Jahm bin Hudzaifah bin Ghanim Al-‘Adawi radhiyallahu ‘anhu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pandangan, “Adapun Abu Jahm, dia tak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya1. Sementara Mu’awiyah, dia seorang yang miskin, tidak punya apa-apa. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid!”
Mulanya Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha merasa agak keberatan dengan pilihan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi beliau menegaskan, “Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya lebih baik bagimu!”
Menikahlah Fathimah bintu Qais dengan pilihan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu. Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kemuliaan kepadanya dengan pernikahan itu, hingga banyak yang merasa iri, menginginkan sebagaimana yang didapatkan Fathimah bintu Qais.
Suatu waktu setelah masa ‘iddahnya selesai, Fathimah radhiyallahu ‘anha mendengar utusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru seluruh kaum muslimin, “Ash-shalatu jami’ah!” Mendengar seruan itu, para sahabat bergegas berkumpul di masjid. Mereka pun shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fathimah turut hadir pula, shalat di barisan para wanita, di belakang shaf laki-laki.
Setelah shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas mimbar sambil tertawa. “Tetaplah di tempat shalat kalian!” perintah beliau. Beliau melanjutkan, “Apakah kalian tahu, untuk apa kalian kukumpulkan?” “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” sahut para sahabat.
“Sesungguhnya aku –demi Allah– mengumpulkan kalian bukan untuk menyampaikan hasungan ataupun ancaman, tetapi karena ada seseorang bernama Tamim Ad-Dari. Dulunya dia seorang Nasrani, kemudian dia datang, berbai’at dan masuk Islam,” papar beliau. Selanjutnya beliau mengisahkan apa yang dialami oleh Tamim Ad-Dari tatkala perahu yang ditumpanginya bersama tigapuluh orang lainnya terombang-ambing oleh gelombang dan akhirnya terdampar di sebuah pulau. Di sana mereka bertemu seekor binatang yang sangat lebat bulunya hingga tak ketahuan, mana depan dan belakangnya. Dia mengaku bernama Jassasah. Binatang itulah yang kemudian menyuruh mereka bertemu dengan seseorang yang ada di pulau itu, yang ternyata dialah Dajjal yang kelak akan muncul di akhir zaman.
Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha, wanita mulia ini menyimak dengan baik kisah panjang yang dituturkan dari lisan mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di kemudian hari, riwayatnya tentang kisah Jassasah ini diambil oleh orang-orang setelahnya.2
Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada tahun 24 Hijriyah, terjadi peristiwa besar. Khalifah ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu terbunuh oleh Abu Lu’lu’ah, seorang Majusi, dengan tikaman pisau besarnya kala sang Khalifah sedang shalat subuh. Sebelum wafat, ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mewasiatkan agar permasalahan khilafah diserahkan pada para tokoh sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Az-Zubair ibnul Awwam, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhum untuk dimusyawarahkan. Di kediaman Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha, berkumpullah ashabusy syura ini untuk bermusyawarah, menentukan pengganti Khalifah.
Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha, banyak yang mengambil ilmu darinya. Kisah tentang talak dan nikahnya ini pun tercantum dalam kitab-kitab hadits, hingga kaum muslimin mendapatkan faedah tentang nafkah dan tempat tinggal seorang wanita yang diceraikan suaminya dengan talak tiga.
Fathimah bintu Qais Al-Fihriyah radhiyallahu ‘anha wafat di masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya....

Sumber Bacaan:
• Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar (8/276-277)
• Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/558)
• Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (10/259-261)
• Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz-Dzahabi (2/319)
• Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi (35/264-265)
• Shahih Muslim

1 Artinya, seseorang yang sering memukul istrinya, sebagaimana disebutkan dalam lafadz lain dalam riwayat Muslim no. 1480.
2 Kisah ini terdapat dalam Shahih Muslim no. 2942.