JAKARTA, KOMPAS.com - Stabilitas ekonomi dan kebijakan fiskal yang kuat selama enam tahun terakhir membuat Indonesia memiliki momentum besar untuk berkembang dalam sepuluh tahun mendatang. Pemerintah harus mengoptimalkan modal ini untuk menarik investor asing menanamkan modal di sektor riil dengan membuat kebijakan yang lebih stabil.
Demikian disampaikan Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Joachim von Amsberg dalam perayaan 40 tahun Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman (Ekonid) di Jakarta, Rabu (12/5/2010). Ekonid merupakan wadah pengusaha Indonesia dan Jerman yang aktif mempromosikan perdagangan dan investasi kedua negara beranggotakan 400 perusahaan dan individu.
Meski memiliki fondasi perekonomian yang mantap dan stabil, Indonesia masih belum mampu menarik investor asing. Negara dengan pasar domestik terbesar di Asia Tenggara ini masih kalah dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia dalam kemampuan menarik investor asing. Pertumbuhan penanaman modal asing Indonesia periode tahun 2003-2008 hanya 2 persen, sama seperti Filipina.
Amsberg memaparkan berbagai data yang menunjukkan pertumbuhan Indonesia berkat stabilitas ekonomi dan kebijakan fiskal, terutama dalam dua tahun terakhir pascakrisis keuangan global. Hal ini bisa terjadi karena Indonesia memiliki inflasi terendah sepanjang sejarah, perdagangan internasional yang rendah dengan pasar domestik yang besar, dan fondasi fiskal yang kuat.
"Indonesia telah melakukan dengan baik. Stabilitas politik, ekonomi makro, dan manajemen fiskal yang kuat menjadi proses yang terus berjalan sejak krisis," ujar Amsberg.
Indonesia pun mampu mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen dalam periode 2004-2009, yang lebih baik dibandingkan Malaysia dan Thailand. Menurut Amsberg, Indonesia akan tumbuh lebih cepat dan memiliki tingkat inflasi yang moderat dalam 10 tahun mendatang dengan memanfaatkan momentum ekonomi.
Indonesia akan berkembang menjadi basis ekonomi wilayah yang bergantung pada pertumbuhan permintaan domestik. Kondisi ini yang membedakan Indonesia dengan China, yang berkembang berkat pertumbuhan ekspor.
Pemerintah harus membuat kebijakan yang tepat untuk dapat menarik investor menanamkan modal, antara lain dengan mempercepat pembangunan infrastruktur. Biaya logistik di Indonesia kini termasuk yang termahal di kawasan. Amsberg mencontohkan, ongkos pengiriman dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Belawan berkisar 250-350 dollar AS per peti kemas, sementara dari Tanjung Priok ke Singapura hanya 180-245 dollar AS per peti kemas.
Investor kini menanti langkah pemerintah membangun infrastruktur mulai dari jalan, pasokan energi, dan penghapusan ekonomi biaya tinggi untuk merealisasikan investasi baru. Sepanjang pemerintah belum memenuhi hal itu, pengangguran akan sulit terserap dan momentum bonus demografi dengan jutaan pekerja muda yang produktif bakal lewat begitu saja.
Pengamat ekonomi dari AIR Inti Yanuar Rizky mengatakan, pemerintah harus mencari solusi yang lebih konkret untuk menciptakan lapangan kerja permanen demi m engurangi tingkat pengangguran terbuka. Jumlah penganggur terbuka Februari 2010 berkurang 0,41 persen dari Agustus 2009 hanya bersifat sementara, bukan realisasi peningkatan investasi atau ekspansi riil investor. Tingkat pengangguran terbuka Februari 2010 tercatat 8,59 juta orang, turun dari 8,96 juta orang pada Agustus 2009.
"Pertanian masih menjadi sektor utama penyerapan tenaga kerja, baik permanent maupun temporer. Pemerintah justru harus mewaspadai daya beli masyarakat yang terlihat dari penurunan arus uang kartal perbankan sebesar 24,7 persen pada Februari 2010 dibandingkan Agustus 2009," ujar Yanuar.
Penurunan pengangguran hanya karena kerja musiman tidak dapat memperbaiki rantai ekonomi karena setiap saat mereka dapat kehilangan pekerjaan. Kondisi ini tidak terjadi apabila industri manufaktur tumbuh untuk menyerap tenaga kerja muda.
Menurut Yanuar, peran intermediasi bank juga harus kembali digugat. Dana pihak ketiga perbankan Februari 2010 naik 11,6 persen dibandingkan Agustus 2009, yang kemudian dinikmati sektor keuangan semata.
"Sinyal intermediasi perbankan justru semakin (banyak) mengendap tanpa mendongkrak transaksi riil. Artinya, tidak ada penyerapan lapangan kerja sistemik dan semua pekerjaan yang tersedia hanya musiman dengan upah riil yang rendah," ujar Yanuar .
sumber: www.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar